Paus Fransiskus telah mengajak umat Katolik di seluruh dunia untuk berdoa bersamanya pada bulan Januari agar para migran, pengungsi, dan korban perang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
“Marilah kita berdoa untuk para migran, pengungsi, dan mereka yang terdampak perang, agar hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, yang sangat penting untuk membangun dunia yang lebih baik, selalu dihormati,” adalah niat doa yang dipilih Bapa Paus Fransiskus untuk mengawali Tahun Baru 2025.
Jaringan Doa Sedunia Paus, yang sebelumnya dikenal sebagai Apostolat Doa, adalah sebuah lembaga yang dikelola oleh Jesuit yang telah memberikan niat doa bulanan dari paus kepada umat Katolik sejak tahun 1890. Paus Fransiskus merekam refleksi video singkat mengenai doa setiap bulan, dan video pertamanya untuk tahun 2025 dirilis pada 2 Januari.
Karena perang, migrasi, atau kemiskinan, ia menyatakan, “sekitar 250 juta anak laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan pendidikan,” dan meskipun demikian, “semua anak dan remaja memiliki hak untuk bersekolah, tanpa memandang status imigrasi mereka.”
Menghormati hak tersebut adalah hal yang baik bagi para migran dan juga bagi masyarakat, kata paus.
“Pendidikan adalah harapan bagi semua orang,” ujarnya. “Pendidikan dapat menyelamatkan para migran dan pengungsi dari diskriminasi, jaringan kriminal, dan eksploitasi — banyak anak di bawah umur yang dieksploitasi!”
Pendidikan juga mendorong integrasi dan mempersiapkan mereka untuk berkontribusi pada masyarakat, “baik di negara baru mereka maupun di negara asal mereka, jika mereka memutuskan untuk kembali,” tambah paus.
Paus Fransiskus mengingatkan para penonton bahwa “siapa pun yang menyambut orang asing, menyambut Yesus Kristus.”
Organisasi Jaringan Doa Sedunia Paus(The Pope’s Worldwide Prayer Network ) menyatakan bahwa 128 juta anak laki-laki dan 122 juta anak perempuan di seluruh dunia tidak bersekolah. Alasan utama yang diungkapkan untuk ketidakbersekolahan ini meliputi: kemiskinan, lokasi geografis, status imigrasi, jenis kelamin, bahasa, disabilitas, dan etnisitas.
Anak-anak migran dan pengungsi yang tidak mendapatkan pendidikan menghadapi kemiskinan dan ketidaksetaraan, serta marginalisasi sosial dan eksploitasi, menurut jaringan tersebut. Kurangnya pendidikan juga dapat berdampak psikologis, karena dapat menyebabkan perasaan inferior atau putus asa.