Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Pengurus Pusat Pemuda Katolik – Departemen Riset Dan Kebijakan Publik
Lawatan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia yang direncanakan pada 3 hingga 6 September 2024 mendatang, merupakan momentum berharga bagi segenap warga Bangsa, mengingat kunjungan Pemimpin bagi 1, 2 miliar umat Katolik dunia ini, tidak saja membawa berkat apostolik dan penyampaian pesan moral untuk menguatkan iman umat Katolik di tanah air semata, namun juga membawa serta seruan apostolik tentang Ajaran Sosial Gereja yang berkaitan erat dengan nilai-nilai perdamaian, toleransi, kemanusiaan dan keberpihakan terhadap lingkungan hidup di tengah dunia, termasuk Indonesia.
Terhadap rencana besar kunjungan Paus ke Indonesia ini, banyak media telah mempublikasikan rencana kunjungan, harapan serta berbagai analisis yang berlandaskan pada kebiasaan serta dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja yang ditulis oleh Sri Paus, dalam menanggapi situasi sosial yang berkembang seantero jagat, yang menunjukan konsistensi keberpihakan Gereja, yang turut serta merasakan “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” sebagaimana di kumandangkan dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Dokumen Konsili Vatikan II – Gaudium Et Spes).
Tulisan ini, memfokuskan diri pada salah satu Ensiklik Paus Fransiskus yang diterbitkan pada medio 24 Mei 2015 silam, Ensiklik Laudato Si’ (Memelihara Bumi Sebagai Rumah Kita Bersama), yang berbicara khusus tentang lingkungan hidup yang dianggap sebagai “Ibu Pertiwi”, yang memelihara dan mengasuh, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan (Ensiklik Laudato Si’ 1 – Seri Dokumen Gerejawi No. 98), yang kini mengalami kehancuran masal akibat tumpulnya hati nurani manusia dalam mengelola lingkungan hidup.
Isu Lingkungan hidup ini penting diangkat ke permukaan, bersempena dengan kunjungan Paus Fransiskus, mengingat Indonesia sedang dalam situasi darurat tata kelola lingkungan hidup. Catatan Wahli (Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2023: Terdepan Di Luar Lintasan) menunjukkan kondisi lingkungan, hukum, dan sosial dalam negeri yang tidak baik-baik saja. Alih-alih menyambut ‘Indonesia Emas 2045’, bagi Wahli, kondisi ini justru akan membawa pada ‘Indonesia Cemas 2045’.
Bagi Wahli, Slogan Nawacita yang seharusnya menjadi tonggak pemulihan lingkungan, justru bertransformasi jadi alat mendorong pembangunan infrastruktur. Langkah pembangunan yang diambil pun malah mengancam ekologi dan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemulihan lingkungan, mengatasi krisis iklim dan melindungi hak asasi manusia cenderung stagnan bahkan dinilai mundur.
Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project, menunjukan, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia sepanjang 2022 mencapai 700 juta ton per tahun. Angka itu meningkat 18,3% dari tahun sebelumnya, sekaligus peningkatan tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Menurut laporan tersebut, kenaikan emisi Indonesia disumbang oleh penggunaan energi fosil, khususnya batu bara. Sumber lainnya adalah alih fungsi lahan dan deforestasi Indonesia yang tinggi.
Ditengah carut marut tata kelola lingkungan hidup yang disoroti banyak pihak, Pemerintah justru menerbitkan peraturan untuk memberi prioritas kepada Organisasi Masyarakat atau Ormas Keagamaan sebagai penerima penawaran izin tambang (Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, pasal 83A).
Kendati kebijakan ini dipandang baik oleh Pemerintah sebagaimana digambarkan oleh Menteri Investasi / Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dihadapan Kader Pemuda Katolik (Rapimnas II Pemuda Katolik – Sorong, Papua Barat Daya), namun banyak Pegiat Lingkungan Hidup akademisi, hingga kalangan industri menilai, kebijakan yang menuai kontroversi ini dikhawatirkan memperdalam krisis lingkungan hidup dan memperuncing konflik sosial. Dengan masuknya Ormas Keagamaan dalam mengelola sektor pertambangan, disinyalir bakal menjebak mereka ke dunia ekstraktif yang padat modal dan teknologi. Ormas Keagamaan yang diharapkan mengurusi kemaslahatan dan moralitas umat melalui upaya pertobatan ekologis, justru terobsesi untuk mengeruk keuntungan dengan mengorbankan lingkungan.
Peliknya persoalan tata kelola linkungan ini juga mendapat atensi dari kalangan generasi muda. Hal ini dapat ditilik melalui survei yang dilakukan United Nations Development Programme (UNDP) pada medio Januari 2021 silam, dengan topik People’s Climate Vote, yang dilakukan di 50 negara, dengan melibatkan 1,2 juta responden.
Hasil survei ini menyibak fakta hampir 70 persen responden yang berumur di bawah 18 tahun percaya krisis iklim adalah keadaan darurat global. Mereka yang di kisaran usia 18-35 tahun percaya krisis iklim dalam keadaan darurat global mencapai angka 65 persen, di kisaran usia 36-59 tahun mencapai 66 persen, dan mereka yang di kisaran usia di atas 60 tahun 58 persen. Dari semua kelompok umur tersebut, 59 persen menyebut krisis iklim sebagai darurat global, dan harus segera melakukan segala sesuatu yang diperlukan.
Di Indonesia, generasi muda juga merasa resah dengan berbagai isu lingkungan, sosial dan ekonomi yang dianggap krusial oleh mayoritas generasi muda, sehingga mendesak Pemerintah untuk segera beralih ke ekonomi hijau. Survei yang dilakukan Greenpeace Indonesia, secara daring pada 9 Januari – 1 Februari 2024 terhadap 600 responden di seluruh Indonesia, dimana mayoritas (49%) dari total responden berasal dari generasi Z dengan rentang usia 18-26 tahun, disusul oleh generasi milenial (39%) yang berusia 27-42 tahun.
Beberapa isu lingkungan yang menjadi perhatian generasi muda diantaranya isu pengelolaan sampah rumah tangga (80%), cuaca ekstrem akibat krisis iklim (79%), pengelolaan limbah industri (78%) dan polusi udara (76%). Selain itu deforestasi yang masih terus terjadi serta kerusakan lingkungan di wilayah-wilayah pertambangan juga menjadi perhatian anak-anak muda, terutama di luar jawa.
Selain menyoroti isu lingkungan, anak muda yang berpartisipasi dalam survei ini pun menyoroti berbagai isu sosial dan ekonomi yang terjadi saat ini. Isu soal keterbatasan lapangan kerja, menjadi perhatian bagi 74% responden survei, ketimpangan ekonomi disoroti oleh 62% responden, serta ketidakmerataan akses kesehatan dan pendidikan yang dianggap penting oleh masing-masing 57% responden.
Hasil pengamatan dan pengalaman para anak muda yang mengisi survei ini juga menunjukkan perhatian mereka terhadap isu kesejahteraan, terutama bagi pekerja, serta masalah ke akses pendidikan dan kesehatan yang memadai. Terkait isu kesejahteraan pekerja, responden menilai banyak kasus gaji yang tidak seimbang dengan jam kerja yang berlebihan. Masalah upah rendah bagi pekerja di luar Jabodetabek serta tidak adanya jaminan pensiun bagi karyawan kontrak.
Anak muda juga menilai terbatasnya akses pendidikan yang layak di pedesaan. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan wawasan antara masyarakat di kota dan desa. Padahal, akses pendidikan yang baik dapat membuka kesempatan kerja yang lebih besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan kualitas layanan dasar antara desa dan kota pun kembali menjadi perhatian utama bagi anak muda. Mereka menyoroti soal kurangnya akses ke perawatan kesehatan, termasuk kesehatan mental, di daerah terpencil lantaran langkanya layanan, lokasi dan biaya yang belum terjangkau.
Dalam survei ini sejumlah responden juga telah melakukan beberapa upaya pribadi untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang terjadi di sekeliling mereka. Kendati demikian, sebagian besar responden menyebut, adalah tanggung jawab pemerintah untuk menghadirkan aturan hukum yang dapat mengatasi masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Paus Fransiskus dan Ensiklik Laudato si’
Pada medio 24 Mei 2015 silam, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik kedua yang diberi judul “Laudato Si” sebuah seruan Pastoral yang mengajak segenap warga dunia untuk menjaga, merawat bumi dari upaya eksploitasi ekologis yang pada gilirannya menyebabkan bencana ekologis nyata.
Dengan melandaskan diri pada ajaran para Pendahulunya dan refleksi para ilmuwan (Paus, refleksi banyak ilmuwan, filsuf, teolog, dan kelompok- kelompok sipil), serta bercermin dari cara hidup Santo Fransiskus dari Assisi, santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi, Paus Fransiskus menyerukan dan mengajak warga dunia untuk melindungi bumi yang adalah “rumah kita” bersama.
Rumah Kita Bersama
Pada bagian pertama ensiklik Laudato Si’, Sri Paus menyoroti kemerosotan lingkungan alam dan kemerosotan lingkungan manusia. Paus menilai keduanya aspek ini memiliki korelasi, saling terhubung satu dengan yang lainnya. Lingkungan manusia dan lingkungan alam merosot secara bersamaan, dan kita tidak dapat secara memadai menangani kemerosotan lingkungan alam jika kita tidak memperhatikan sebab-sebab yang berkaitan dengan kemerosotan manusia dan masyarakat (LS. 48).
Terkait kemerosotan lingkungan alam, Paus memilah beberapa pokok persoalan yakni polusi (LS 20-22), perubahan iklim (LS 23-26), masalah air (LS 27-31) dan hilangnya keanekaragaman hayati (LS 32-42). Sementara terkait lingkungan manusia, Paus mengangkat persoalan mengenai penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan kehidupan sosial (LS 43-47), serta ketimbangan global (LS 48-52).
Sri Paus juga menyoroti persoalah kemerosotan sosial yang tampak dalam kualitas kehidupan di perkotaan, antara lain terkait persoalan transportasi, polusi visual, kebisingan, kepadatan, dan ruang hijau yang kurang memadai. Paus menyebut penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca dan logam, hingga kehilangan kontak fisik dengan alam (LS 44).
Bagi Sri Paus, kemerosotan kehidupan sosial dipengaruhi oleh dua faktor penting, yakni teknologi dan media massa dunia digital. Kemajuan teknologi mempengaruhi lapangan kerja, pengucilan sosial, ketimpangan dalam distribusi dan konsumsi energi, fragmentasi sosial, peningkatan kekerasan, kemunculan bentuk baru agresi sosial, dan perdagangan narkoba serta penggunaannya di kalangan muda (LS 46).
Sedangkan media sosial dan dunia digital, menurut Paus, bisa menghalangi orang untuk hidup dengan kebijaksanaan, untuk berpikir mendalam dan untuk mencintai dengan murah hati. Akumulasi data yang disajikan menimbulkan kejenuhan dan kebingungan. Media saat ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan dan perasaan; namun, kadang-kadang juga menghalangi kita untuk kontak langsung dengan kesusahan, kecemasan, dan sukacita orang lain dan kompleksitas pengalaman pribadinya (LS 47).
Terang Biblis
Pada Bab dua Ensiklik ini, Paus mau menyapa, serentak menegur setiap pribadi yang telah mendiami bumi, namun merusaknya dengan ketidakadilan ekologis. Paus paham bahwa manusia pada zaman ini terdiri dari aneka pribadi yang membentuk aneka pemahaman dan keyakinan. Ada yang secara tegas menolak kisah penciptaan dan Penciptanya.Kendati demikian, Paus mengajak agar manusia era ini lebih arif bila menghadapi kerusakan alam dengan menghimpun dan mendengarkan pelbagai kebijaksanaan, baik yang ditawarkan oleh agama maupun oleh ilmu pengetahuan.
Di sinilah relevansi aktual antara iman dan rasio: bersama-sama mengembangkan ekologi yang mampu menanggulangi apa yang telah dirusak oleh manusia (LS 62-63). Melalui dokumen ini, Paus Fransiskus menawarkan Cahaya yang ditawarkan Iman, dengan menunjukkan komitmen iman Kristen yang peduli terhadap masalah ekologis, “umat Kristiani, khususnya, tahu bahwa tugas mereka dalam dunia ciptaan dan tanggung jawab mereka terhadap alam dan Sang Pencipta merupakan bagian integral dari iman mereka” (LS 64).
Melalui hikmat Cerita-cerita Alkitab, Paus ingin meluruskan pandangan yang keliru mengenai perspektif orang-orang Kristen terhadap alam. Paus menegaskan ajaran iman yang termaktub dalam Alkitab di mana Allah menciptakan alam dan manusia sama baiknya (Kej. 1:31), dimana manusia mempunyai peran khusus (Kej. 1:26) yang menyebabkan dia menjadi ‘seseorang’ dan bukan ‘sesuatu’. Manusia adalah pribadi yang sudah ada di hati Allah (LS 65) sebagaimana yang dikatakan dalam Yer.1:5: Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau. Kekhususan Allah yang menciptakan manusia, karena Ia kehendaki dan cintai, menjadikan manusia sebagai pribadi dengan tugas khusus, yang dalam sejarah keselamatan telah jatuh bangun melaksanakannya.
Dalam cerita Alkitab dikatakan bahwa manusia mempunyai tiga relasi yang saling berkaitan, yakni dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Sejarah memperlihatkan bahwa relasi ini hancur karena dosa, sehingga memberikan pemahaman yang keliru untuk menaklukkan bumi (Kej. 1:28). Padahal Allah juga berfirman bahwa manusia harus mengusahakan dan memeliharanya (Kej.2:15).
Paus mengajarkan agar Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk “mengusahakan dan memelihara” taman dunia (lihat Kejadian 2: 15). Sementara “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam. Setiap komunitas dapat mengambil dari harta-benda bumi apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi mendatang (LS 67).
Fr. Carol Johanes Sompotan MSC melalui tulisannya dalam Makalah Seminar Ilmiah Ensiklik Laudato Si’: Tanggapan Gereja Katolik Atas Krisis Ekologis Global, menggambarkan bahwa dalam ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus tidak berbicara secara teoritis tentang apa itu ekologi tetapi harus terwujud menjadi suatu gerakan praktis, suatu gaya hidup yang harus dipahami dengan baik dan dipraktekkan secara konsisten agar tidak terjadi bencana global yang lebih dahsyat.
Paus Fransiskus mengangkat dua persoalan pokok sebagai akar atau penyebab dari krisis ekologis global dewasa ini. Sebab pertama adalah dominasi paradigma teknokratis. Bagi Sri Paus, ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya adalah hasil yang indah dari kreativitas manusia, yang tidak lain telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Dalam perkembangan sejarah, teknologi telah membantu manusia dalam mengatasi hal-hal buruk yang membatasi manusia, terutama di bidang kedokteran, teknik, dan komunikasi (LS 102).
Hasil-hasil teknologi juga membangkitkan suatu cita rasa akan keindahan, antara lain dalam ketakjuban akan keindahan pesawat terbang, bangunan-bangunan pencakar langit, dan sederetan karya seni dan musik (LS 103). Kiendati demikian, ternyata teknologi juga memberikan kekuasaan yang luar biasa, terutama pada sebagian orang yang memiliki pengetahuan dan kekuatan ekonomi untuk memahami dan memiliki barang-barang teknologi. Persoalan terjadi ketika manusia yang memiliki pengetahuan serta alat-alat teknologi menciptakan dan memanfaatkan teknologi tanpa batasan-batasan moral yang kuat.
Paradigma teknokratis mempropagandakan bahwa manusia bisa hidup dengan mengandalkan teknologi saja, tanpa memerlukan etika dalam penggunaannya. Bahkan persoalan – persoalan hidup manusia bisa diatasi hanya dengan mengandalkan kemajuan teknologi (LS 110). Teknologi bukan lagi ditempatkan sebagai sarana penunjang kualitas hidup manusia, tapi bergeser menjadi tujuan hidup manusia. Paus Fransiskus menyadari bahwa, Paradigma teknologi sudah menjadi begitu dominan sehingga akan sangat sulit untuk mengabaikan segala sumber dayanya, dan lebih sulit lagi untuk menggunakannya tanpa dominasi oleh pola pikirnya (LS 108).
Sebab kedua dari krisis ekologis global dewasa ini adalah penerimaan paham antroposentrisme modern. Paham antroposentisme modern yang dimaksudkan oleh Paus Fransiskus ini bertolak belakang dengan paham antropologi kristiani perihal relasi manusia dengan alam. Antroposentrisme modern menaruh pola pikir teknis di atas realitas alam yang sebenarnya, dimana manusia melihat alam sebagai objek kegunaan semata, sebagai ruang dan bahan untuk dieksploitasi. Kodrat alam sebagai ciptaan tidak dihargai. Demikian alam dipandang sebagai barang mati melulu, sementara yang hidup hanyalah manusia yang berakal budi, yang mampu mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi (LS 115).
Amat berbeda dengan pandangan sedemikian, antropologi Kristen justru mewajibkan manusia untuk mengolah alam secara bertanggung jawab. Allah menganugerahkan kualitas-kualitas manusia kepada diri manusia sendiri. Sehingga dengan kualitas-kualitas manusiawinya, yakni akal budi, kehendak bebas, dan hati nuraninya, manusia mestinya mengolah alam dengan penuh hormat. Relasi manusia dengan alam mestinya menjadi relasi saling menolong, bukan relasi konfrontatif yang malah membangkitkan pemberontakan alam (LS 117).
Atas dasar iman dan keyakinan akan nilai luhur manusia, Paus Fransiskus menegaskan bahwa paham antroposentrisme sesat tak perlu digantikan dengan paham biosentrisme. Manusia perlu ditempatkan secara benar dalam pemahaman akan ekologi yang lebih integral. Nilai luhur manusia mesti diakui. Paus Fransiskus menegaskan bahwa, Tidak ada ekologi tanpa antropologi yang memadai. Apabila pribadi manusia dianggap sebagai salah satu makhluk dari antara yang lain saja, hasil dari suatu permainan yang kebetulan atau dari determinisme fisik, kesadaran akan tanggung jawabnya terancam berkurang dalam diri manusia … Manusia tidak dapat diharapkan melibatkan diri penuh hormat ke dalam dunia, jika tidak serentak ada pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuannya yang unik berupa pengetahuan, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab (LS 118).
Pada bab kelima dari ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menggariskan beberapa jalur utama dialog untuk keluar dari spiral penghancuran rumah kita. Paus Fransiskus juga mengemukakan poin-poin penting mengenai pendidikan dan spiritualitas ekologis. Beliau mengatakan bahwa Ekologi integral tidak jauh berbeda dari gerakan ekologis masa kini yang menekankan ekosistem sebagai rumah bersama dari segenap makhluk yang ada dan hidup di dalam bumi.
Secara khusus, ekologi integral Paus Fransiskus memberi perhatian serius pada tema kemiskinan, sebagai salah satu krisis ekologis global, sekaligus sebagai salah satu pintu masuk untuk memulihkan krisis ekologis global dewasa ini. Menurut Paus, Tidak ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan dan yang lain sosial, tetapi satu krisis sosial-lingkungan yang kompleks. Solusi hanya mungkin melalui pendekatan komprehensif untuk memerangi kemiskinan, memulihkan martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam (LS 139). Oleh karena itu dibutuhkan suatu ekologi lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan kebiasaan hidup sehari-hari untuk memulihkan kemiskinan dan krisis ekologis global dewasa ini. Perlu disadari bahwa setiap organisme adalah makhluk ciptaan Allah yang baik dan mengagumkan dalam dirinya sendiri. Semua itu berfungsi sebagai satu sistem yang saling terkait satu sama lain.
Manusia bisa hidup dan bertindak karena terlebih dahulu telah ada realitas lingkungan yang telah disediakan Allah untuk didiami dan diolah oleh manusia. Dalam kerangka pemahaman sedemikian, aktivitas ekonomi manusia mestinya turut mempertimbangkan realitas alam secara keseluruhan. Perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang lepas daripada itu. Kegiatan-kegiatan ekonomi dipraktekkan bukan pertama-tama demi mencari keuntungan sebesar-besarnya (big money), tapi untuk humanisasi atau peningkatan kualitas hidup manusia.
Ekologi sosial mesti pertama-tama dimulai dari dalam keluarga, kemudian melalui komunitas lokal, bangsa, hingga ke masyarakat internasional. Ekologi budaya mesti dikembangkan dengan memberi perhatian serius pada kehidupan masyarakat adat dan budaya lokal mereka (LS 144). Masyarakat adat yang kaya akan tradisi budaya mesti menjadi mitra dialog utama, terutama ketika dikembangkan proyek-proyek besar yang mempengaruhi wilayah mereka. Sebab bukan orang lain, melainkan mereka yang tinggal di wilayah mereka sendirilah yang melestarikan alam mereka dengan paling baik (LS 146).
Pada akhirnya, semua kembali pada gaya hidup masing-masing individu. Manusia membutuhkan ekologi hidup sehari-hari yang menekankan kearifan, kesederhanaan, dan keramahan dalam berelasi dengan diri sendiri, sesama manusia, Allah Pencipta, dan lingkungan sekitar (LS 147).
Paus Fransiskus mengundang setiap manusia agar bersikap positif dan murah hati terhadap tetangga sekitarnya, agar sekalipun hidup dalam lingkungan yang bisa jadi tidak menguntungkan, mereka dapat saling membangun kebersamaan dalam komunitas di mana anggota-anggotanya saling menghargai, saling mengakui, dan saling mengasihi satu sama lain (LS 148). Kota mestinya menjadi suatu ruang publik yang ramah, di mana setiap orang dapat merasa at home dan berarti. Di lingkungan perkotaan maupun pedesaan patutlah dilestarikan beberapa tempat yang dikecualikan dari campur tangan manusia yang terus mengubahnya, usul Paus Fransiskus (LS 151). Kepemilikan rumah amat sentral dalam usaha penegasan martabat manusia dan pembangunan keluarga. Paus Fransiskus tidak merekomendasikan pengusiran terhadap para penduduk miskin. Memfasilitasi orang-orang miskin untuk memiliki rumah hunian sendiri membantu memelihara kehidupan keluarga, dan lebih berkontribusi bagi pemeliharaan lingkungan dalam arti yang lebih luas. Diperlukan kreatifitas untuk mengintegrasikan lingkungan kumuh ke dalam kota yang ramah, yang menciptakan relasi persaudaraan yang saling mendukung satu sama lain (LS 152). Mobil mesti dipakai dengan seefisien mungkin.
Penghayatan ekologi dalam seluruh aspek kehidupan manusia, diarahkan demi pemenuhan kesejahteraan umum (bonum communae). Hidup manusia menjadi lebih bermakna ketika perbuatan-perbuatannya diarahkan pada kesejahteraan bersama, bukan pertama-tama untuk melayani ego dan kepentingannya sendiri. Demikian menurut kerangka ekologi integral, gaya hidup individualistis, konsumeristis, hedonistis, dan egoistis tidak lagi relevan (LS 162).
Krisis ekologis global menuntut suatu solidaritas antar generasi yang didasarkan atas prinsip keadilan. Lingkungan harus dipandang sebagai pinjaman atau utang yang diterima setiap generasi dan harus diteruskan kepada generasi berikut (LS 159). Paus Fransiskus mengingatkan bahwa demi tuntutan solidaritas antar generasi, sekarang ini mendesak bagi kita semua untuk membaharui solidaritas intra-gerenasi, yakni membaharui relasi ekologis kita dengan diri sendiri, sesama, Allah, dan lingkungan kita pada masa sekarang ini LS (162).
Perbaikan lingkungan membutuhkan perubahan baik dari pikiran, perasaan dan tindakan yang konkret. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menggariskan beberapa jalur utama dialog untuk keluar dari spiral penghancuran rumah kita. Paus Fransiskus juga mengemukakan poin-poin penting mengenai pendidikan dan spiritualitas ekologis.
Pandangan bahwa dunia kita interdependen (saling-berelasi/saling tergantung) menyadarkan manusia untuk mengusulkan solusi-solusi yang bersifat global. Solusi-solusi yang ditawarkan bukan untuk melindungi daerah atau negara masing-masing dari bahaya kerusakan lingkungan, melainkan untuk menjaga keutuhan bumi. Untuk itu, bumi membutuhkan suatu konsensus global. Misalnya, perlu dirancang suatu program pertanian yang berkelanjutan untuk mengembangkan bentuk-bentuk energi yang terbarukan dan kurang mencemarkan lingkungan, mendorong penggunaan energi yang lebih efisien, dan manajemen sumber daya alam dan laut (LS 164).
Penutup
Carut marut persoalan mengenai tata kelola lingkungan, hukum, dan sosial dalam negeri membuat cemas banyak kalangan termasuk generasi Muda Indonesia yang sedang menatap masa depan menuju Indonesia Emas. Kecemasan ini beralasan karena pada masa yang akan datang, Generasi Muda akan mewarisi bumi yang rusak akibat kebijakan dan praktek pembangunan generasi yang saat ini memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat nasional maupun global.
Pilihan pembangunan dan pengelolaan beragam sumber daya alam oleh generasi saat ini, akan memberikan dampak yang sangat panjang dan luas bagi generasi masa depan. Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting untuk kelangsungan hidup generasi hari ini dan generasi yang akan datang. Inilah yang dinamakan dengan keadilan antargenerasi.
Untuk itu Walhi mendorong upaya gerakan sosial untuk lahirnya kepemimpinan orang muda yang memilki kemampuan menjadikan pengetahuan yang hidup di masyarakat menjadi tindakan kritis, inovatif dan strategis untuk mewujudkan keadilan ekologis di Indonesia. Jika menginginkan perubahan yang fundamental, jika berharap negara ini secara serius menerapkan kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kehidupan rakyat, maka pemudalah yang paling potensial melakukannya.
Kiprah Nyata Pemuda
Pemuda Katolik, yang secara institusional adalah organisasi kemasyarakatan (Ormas), namun dalam gerakan organisasinya bernapaskan doktrin dan ajaran Gereja Katolik, dan secara praktek, bergerak dalam rel ideologi Pancasila dan konstitusi negara, ikut andil secara konkret dan bertanggung jawab menjaga kualitas lingkungan dan penguatan ekonomi umat melalui inisiasi pembentukan Bank Sampah yang diputuskan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pemuda Katolik di Minahasa Utara, 26-29 Mei 2022 silam.
Bank Sampah Petra mengusung tagline “sampahku tanggung jawabku” dimana program ini mengajak masyarakat untuk mulai memilah sampah sesuai kategorinya, mengurangi sampah, memanfaatan sampah yang terpilah, mendaur ulang sampah terpilah, dan membuang sampah pada tempatnya.
Ketua Umum Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma menegaskan bahwa inisiasi Bank Sampah PETRA dalam Rakernas tersebut, menunjukkan bahwa Pemuda Katolik memiliki komitmen bulat untuk menjaga kualitas lingkungan dan penguatan ekonomi umat, sebuah gerakan kecil berdampak besar, sebagai bentuk implementasi nyata mewujudkan pesan Laudato Si’.
Kunjungan Paus, Sebuah Harapan
Bersempena dengan kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, moment ini harus menjadi titik balik refleksi seluruh komponen bangsa. Melalui ensiklik Laudato Si’ yang ditujukan bagi setiap orang di dunia ini, Sri Paus ingin mengajak kita semua untuk memiliki cara baru dalam memandang sesuatu, sebuah revolusi budaya total (LS, no. 3 dan 114). Saat ini kita menghadapi krisis yang terjadi akibat apa yang kita lakukan, sehingga bumi kita mulai terlihat seperti ‘gundukan sampah’ (LS, no. 21).
Dokumen ini mengingatkan kita bahwa karena Tuhan bekerja bersama kita, maka kita bisa berjuang untuk mengubah keadaan, baik secara individu maupun secara komunal (di perusahan, sekolah, komunitas, dll.). Kita dapat melatih kepekaan hati untuk melihat relasi Tuhan dalam setiap makhluk, serta siap mendengar tangisan bumi dan ratapan orang miskin (LS, no. 49). Melalui Laudato Si pula, Paus mengajak kita semua untuk tidak egois dan lalai. Seseorang tidak bisa memperhatikan lingkungan apabila di hatinya tidak ada kelembutan, bela rasa, dan perhatian pada sesama (LS, nomor 91).