Probononews.com, Tanjungpinang – Tahapan-tahapan Pemilihan Umum sudah didepan mata, para pemangku kepentingan dalam hal ini ketua Partai Politik sudah memberi berbagi macam strategi yang baik untuk memenangkan suara pemilih, agar dalam Pemilu yang akan datang para kadernya dapat menduduki kursi sebanyak-banyaknya baik dilegislatif maupun eksekutif. Diberbagai daerah sudah muncul fenomena maraknya baliho-baliho wajah para ketua Partai Politik dengan ukuran dan jumlah yang sangat fantastis. Hasil dari berbagai survey juga sudah menunjukkan hasil nama-nama yang layak dan kelak akan menjadi presiden di Indonesia.
Setiap dilakukan Pemilahan umum jutaan uang liar beredar dimasyarakat baik pada hari sebelum pemilihan dan pada saat,bahkan saat sesudah pemilihan umum. Menurut data yang dihimpun oleh rumah pemilu , selama pemilihan umum 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang berkisar antara 19,4 persen sampai dengan 33,1 persen. Dengan tingginya tingkat keterlibatan politik uang di Indonesia telah menempatkan politik uang telah menjadikan hal yang wajar dalam setiap pemilhan umum. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Pemilahan Umum dan Demokrasi Indonesia Tahun 2019, menyatakan bahwa sebanyak 47,4 persen masyarakat Indonesia membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen menganggap bahwa praktek politik uang sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pihak yang mempunyai hak untuk menegakkan regulasi Pemilu memiliki kelemahan dan keterbatasan untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya serta diberikan waktu selama 21 hari untuk membawa kasus politik uang tersebut sampai ke penuntutan.
Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara keagamaan, kegiatan-kegiatan ditingkat RT/RW maupun di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Praktek yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi. Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
Fakta yang terjadi dilapangan juga menunjukan dengan adanya praktek politik uang dapat menarik simpati masyarakat untuk memilih calon yang sudah ditentukan, dan biasanya calon melalui kader atau simpatisannya meminta data berupa KTP.
Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan. Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan.
Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang. Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti serta diberi kewenangan langsung dalam memberikan putusan hukum terkait pelanggaran hukum dan supaya menimbulkan efek jera agar dicabut hak politiknya bila terbukti bersalah secara hukum.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang sudah menjalankan demokrasi pemilihan langsung yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Indonesia baik dari kalangan elite dan kalangan masyarakat kecil, harus mulai bersuara dan berani untuk menindak berbagai praktek politik uang.